Cilacap – Dalam rangka optimalisasi program penanganan Narapidana Terorisme (Napiter) dalam sistem pemasyarakatan, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi menghadiri kegiatan Focus Group Discussion (FGD). Kegiatan ini dilaksanakan di Ruang Griya Kresna Santika Premiere Hotel Kota Yogyakarta, Rabu (26/10/2022).
Kegiatan FGD ini terselenggara oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bekerja sama dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Kerjasama ini dilaksanakan untuk mengembangkan kerangka kerja yang efektif untuk menggunakan pendekatan psikososial dalam pelaksanaan rehabilitasi dan reintegrasi terhadap Napiter.
Hadir dalam kegiatan ini Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi beserta jajarannya, Koordinator Progam Criminal Justice UNODC, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Daerah Istimewa Yogyakarta dan Peserta Undangan Kepala Lembaga Pemasyarakatan di Lingkungan Kemenkumham RI.
Berkenan membuka kegiatan Kepala Divisi Keimigrasian M. Yani Firdaus mewakili Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham DIY. Firdaus menyampaikan kegiatan FGD ini diharapkan nantinya Petugas Pemasyarakatan dapat memberikan pembinaan kepada Napiter di Lapas untuk mengubah paham radikal yang mereka anut.
“Kami berharap data informasi permasalahan yang disampaikan dapat menambah bahan masukan untuk menambah kerangka kerja dalam progam rehabilitasi Napiter. Untuk itu kami menyambut baik kegiatan seperti FGD dalam upaya deradikalisasi”, ungkap Firdaus.
Salah satu Narasumber sekaligus peneliti aktif di Cendekia Nusantara, Lilis Lisnawati, mengatakan bahwa forum diskusi kali ini membahas tentang “Perumusan Mekanisme Pelaksanaan Dukungan Psikososial bagi Narapidana Terorisme di Indonesia. Lilis mengatakan upaya pendekatan terhadap Napiter dapat dilakukan melalui pendekatan psikososial.
Pendekatan psikososial yaitu pandangan yang melihat hubungan antara aspek psikologis perilaku manusia dan realita sosial yang dibangun dan dipengaruhi oleh faktor sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan. Tujuan dari penerapan pendekatan psikososial terhadap Napiter di Indonesia ini yaitu untuk mendorong penerapan dukungan psikososial dalam program pembinaan di dalam Lapas guna mendorong rehabilitasi, deradikalisasi dan reintegrasi Napiter.
Direktur Binapi Latkerpro, Thurman Hutapea menambahkan bahwa pembinaan terhadap Napiter mempunyai tantangan tersendiri. Hal ini disebabkan karena Napiter rentan mengalami gangguan kesehatan mental diakibatkan oleh beberapa faktor. Antara lain over kapasitas Lapas, kondisi Lapas yang kurang nyaman, dan faktor individu karena merasa malu dan bersalah atas kesalahan yang pernah dilakukan. Oleh karena itulah dibutuhkan pendekatan psikososial serta keterampilan khusus dari Petugas Pemasyarakatan.
“Salah satu progam yang sangat penting bagi Napiter adalah pembinaan keagamaan, bukan hanya meluruskan pemahaman radikal yang telah tertanam pada diri mereka. Tetapi juga mengubah pandangan bahwa beragama tidak memerlukan tindakan kekerasan terhadap orang lain yang berbeda keyakinan,” pungkasnya.
(Red)